Mencari Herman

on Minggu, Mei 19, 2013
Bismillah.


salah satu hal yang tidak bisa kau lupakan dari seseorang adalah senyumannya...
Apakah itu sebuah ungkapan? Yang pasti, saya merindukan senyumannya. Dan itu adalah sebuah kesalahan. Dia bernama Herman. Dia bukan cinta pertama saya. Bukan pula cinta kedua, ketiga dan seterusnya. Saat ini, saya hanya merindukan senyumannya.
*Flashback*

Berawal dari masa-masa childhood dulu, yang sepertinya hanya ada 3 pembagian waktu dalam dunia saya(mungkin dunia kamu juga). waktu sekolah, waktu bermain dan waktu istirahat adalah waktu-waktu terbaik that I ever have. So, se"wajib"nya semua manusia menikmati masa kecilnya. Masa "ketidakpedulian" yang hanya mengenal bahwa dunia adalah gudang mainan, jika perlu 7 hari 24 jam hanya digunakan untuk bermain. Saya termasuk salah seorang manusia yang sungguh sangat menikmati masa "ketidakpedulian" itu. Setelah pulang sekolah, hal pertama yg terlintas dalam benak saya adalah "lapangan" atau lebih tepatnya "lapak untuk bermain".

Kala itu, ukuran lapangan yg sering saya "tongkrongi" sangat luas untuk anak umur 8 tahun. Pada sudut kanan lapangan berdiri sebuah pohon mangga yang tidak begitu besar lalu tepat disamping pohon itu tersusun secara berantakan beberapa kayu yang bisa dijadikan tempat beristirahat ketika saya lelah bermain atau lebih tepatnya ketika saya kembali mengumpulkan tenaga untuk bermain.
Di waktu-waktu tertentu, Herman sering ikut bermain dilapangan bersama saya dan teman-teman yang lain. Dia memiliki banyak teman, mungkin karena dia suka tersenyum. Diam-diam dari kejauhan saya selalu ikut tersenyum ketika suatu waktu ia sedang duduk, berbicara, bercerita tentang satu hal yang membuat teman-temannya terpingkal pingkal.
".... teringat akan satu kejadian romantis bersama Herman atau mungkin lebih tepatnya memalukan"
Seingat saya, pertemuan terakhir kami adalah ketika saya duduk dibangku SMP, sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Kami bertemu dan saling menyapa lewat senyuman. Ia yang selalu tersenyum lebih dahulu dan saya pun tidak kuasa untuk melemparkan senyuman balasan. Ia terlihat lebih kurus dan tidak terurus. Sontak, pertemuan terakhir kami itu membuat saya teringat akan satu kejadian romantis bersama herman atau mungkin lebih tepatnya memalukan.
Bermula ketika Herman belum menjadi bagian dari hidup saya. Saya belum mengenal Herman, belum pernah melihat senyumnya-bahkan kini merindukan senyumnya-. Sore itu, saya bersama seorang teman masa kecil sedang asyik-asyiknya bermain sepeda. Karena ukuran tubuh saya lebih kecil (baca:pendek) maka saya tidak mampu untuk "menggowes"(yaiyalah, kaki saya bahkan belum mampu menyentuh aspal), tiba-tiba salah seorang teman saya yang lain dari arah yang berlawanan berteriak dengan kencangnya "Herman!" Sambil memberi isyarat jari telunjuk bahwa Herman tepat berada dibelakang kami dengan ekpresi seperti melihat "dementor". Kami lalu berbalik sekilas dan terpaku memandang Herman yang sedang berlari ke arah kami. *Apa yang hendak dilakukan Herman pada kami saat itu? Meminta tanda tangan? Foto bareng dengan pose unyu' unyu'?* Ternyata bukan, ia hanya ingin mengejar. Selain tersenyum, ia juga senang mengejar siapa saja yang ia inginkan. Pilihan kami saat itu adalah mengayuh sepedaa sekuat tenaga, menjauhi Herman, sejauh mungkin.
Terima Kasih, karena telah melengkapi cerita masa kecil saya....
Herman telah lama bermimpi menjadi seorang polisi. Mungkin, menjadi seorang polisi yang suka tersenyum. Entah hal apa yang membuat ia gagal menjadi seorang polisi hingga membuatnya lepas kontrol dan merelakan setengah kewarasannya menguap. Saya kini mencari Herman, jika bertemu dengannya saya hanya ingin berterima kasih karena ia telah melengkapi cerita masa kecil saya. Herman yang suka tersenyum, dimanakah kamu sekarang? Jika kamu berkenan, tukeran alamat FB yuuu.... *ehh

misya all blogger!GBU!