(saat hatiku dipenuhi pelukan rumput kepada embun)
Bunga Bakung: Huuaapp... Selamat pagi, Matahari!
Matahari: Pagi, Manis... nyenyak tidurmu?
Bunga Bakung: Yah, begitulah. Eh, tidak. Karena aku mimpi buruk! Hii, seram!
Rumput: Mimpi apakah, Bakung? Semalam kau berisik sekali. Teriakmu, oh tidak! Begitu terus.
Bunga Bakung: Ya, iyalah. Kebayang tidak, sih. Embun menghilang dari muka bumi pagi hari!
Rumput: Apa?! Celaka! Oh, tidak!
Matahari: (terkikik pelan)
Bunga Bakung: Tenang, tenang, Rumput. Itu cuma mimpi.
Embun: Selamat pagi semua (suaranya bening, tubuhnya berhias pelangi warna sinar matahari)
Bunga Bakung: Oh, itu dia! (lega, sekaligus mengagumi si Embun yang langsung mereplikasi basir dirinya)
Rumput: Oh, syukurlah.
Matahari: Hai, Cantik! (sinarnya menghangat)
Bunga Bakung: Aku tambah cantik, ya? Lihat, gaunku bertabur Embun.
Matahari: (tersenyum)
Bunga Bakung: Ayo, Matahari, sinari lebih banyak lagi. Sebelah sini. Biar lebih berkilau.
Rumput: Jangan serakah, Bakung. Nanti Embun cepat hilang.
Bunga Bakung: Iya, kenapa sih kamu harus cepat-cepat berlalu, wahai Embun?
Embun: Karena memang aku tinggal sebentar saja. Tugasku membuka hari menemani Matahari pagi.
Rumput: (menatap sayang) Kamu cantik sekali, Embun. Aku menanti kehadiranmu bagai candu.
Bunga Bakung: (terbatuk) Ehem, maaf.
Embun: (tersipu malu)
Rumput: (masih menatap sayang) Tahukah kamu, kehadiranmu memberiku segar.
Embun: (masih tersipu malu)
Rumput: Kau memantikkan pijar harap tiap malamku untuk menanti pagi. Karena aku dapat memelukmu.
Matahari: Pagi, Manis... nyenyak tidurmu?
Bunga Bakung: Yah, begitulah. Eh, tidak. Karena aku mimpi buruk! Hii, seram!
Rumput: Mimpi apakah, Bakung? Semalam kau berisik sekali. Teriakmu, oh tidak! Begitu terus.
Bunga Bakung: Ya, iyalah. Kebayang tidak, sih. Embun menghilang dari muka bumi pagi hari!
Rumput: Apa?! Celaka! Oh, tidak!
Matahari: (terkikik pelan)
Bunga Bakung: Tenang, tenang, Rumput. Itu cuma mimpi.
Embun: Selamat pagi semua (suaranya bening, tubuhnya berhias pelangi warna sinar matahari)
Bunga Bakung: Oh, itu dia! (lega, sekaligus mengagumi si Embun yang langsung mereplikasi basir dirinya)
Rumput: Oh, syukurlah.
Matahari: Hai, Cantik! (sinarnya menghangat)
Bunga Bakung: Aku tambah cantik, ya? Lihat, gaunku bertabur Embun.
Matahari: (tersenyum)
Bunga Bakung: Ayo, Matahari, sinari lebih banyak lagi. Sebelah sini. Biar lebih berkilau.
Rumput: Jangan serakah, Bakung. Nanti Embun cepat hilang.
Bunga Bakung: Iya, kenapa sih kamu harus cepat-cepat berlalu, wahai Embun?
Embun: Karena memang aku tinggal sebentar saja. Tugasku membuka hari menemani Matahari pagi.
Rumput: (menatap sayang) Kamu cantik sekali, Embun. Aku menanti kehadiranmu bagai candu.
Bunga Bakung: (terbatuk) Ehem, maaf.
Embun: (tersipu malu)
Rumput: (masih menatap sayang) Tahukah kamu, kehadiranmu memberiku segar.
Embun: (masih tersipu malu)
Rumput: Kau memantikkan pijar harap tiap malamku untuk menanti pagi. Karena aku dapat memelukmu.
Embun: (semakin tersipu malu)
Rumput: Setiap pagi aku dapat memelukmu seperti ini.
Embun: (semakin cemerlang karena sipu)
Bunga Bakung: Ehem! (terbatuk, cemberut)
Matahari: (berkedip, Angin lewat menggandeng Awan, membuat Matahari celingukan karena tertutup)
Bunga Bakung: Hei, Awan! Jangan lama-lama di depan matahari! Kilau embunnya hilang!
Rumput: (teriak juga) Wahai, Angin. Jangan berhembus. Beri aku waktu lebih lama bersama cintaku. Please!
Bunga Bakung: (tambah cemberut)
Rumput/Embun: (berpelukan dalam diam)
Matahari: (berhenti celingukan, Awan sudah pergi berlari bersama Angin) Maaf, Embun. Maaf....
Rumput/Embun: (sedih)
Matahari: Sudah waktunya engkau pergi, Manis.
Rumput/Embun: (menatap lekat, enggan melepas, saling memejam mata, merasakan detik-detik pisah)
Rumput: Sampai besok pagi, Embun. Aku merindukan kau selalu!
Embun: (hanya tersenyum dalam baur sedih dan pasrah)
Semesta: (hening sementara seolah menghormati kepergian Embun)
Rumput: Setiap pagi aku dapat memelukmu seperti ini.
Embun: (semakin cemerlang karena sipu)
Bunga Bakung: Ehem! (terbatuk, cemberut)
Matahari: (berkedip, Angin lewat menggandeng Awan, membuat Matahari celingukan karena tertutup)
Bunga Bakung: Hei, Awan! Jangan lama-lama di depan matahari! Kilau embunnya hilang!
Rumput: (teriak juga) Wahai, Angin. Jangan berhembus. Beri aku waktu lebih lama bersama cintaku. Please!
Bunga Bakung: (tambah cemberut)
Rumput/Embun: (berpelukan dalam diam)
Matahari: (berhenti celingukan, Awan sudah pergi berlari bersama Angin) Maaf, Embun. Maaf....
Rumput/Embun: (sedih)
Matahari: Sudah waktunya engkau pergi, Manis.
Rumput/Embun: (menatap lekat, enggan melepas, saling memejam mata, merasakan detik-detik pisah)
Rumput: Sampai besok pagi, Embun. Aku merindukan kau selalu!
Embun: (hanya tersenyum dalam baur sedih dan pasrah)
Semesta: (hening sementara seolah menghormati kepergian Embun)
Saat menghilang Embun menitikkan airmata,
namun biasnya tersamar di pendar miliar cahaya Matahari.
Kodratnya adalah keterikatan dengan alam
yang telah menggariskannya
dapat bertemu Rumput, kekasihnya
hanya saat fajar terbangun.
Namun saat itulah ia hidup,
bahagia, bernapas, dan menjadi berarti.
Kilau, bias, dan cemerlangnya
menghiasi Semesta.
Walau hanya sejenak, meski kemudian terlupa,
ia akan tetap ada.
Senantiasa hadir di geliat jingga langit pagi
untuk menerima hadiah pelukan sang Rumput.
Rumput menangis pada saat Embun menguap menghilang,
namun basahnya abadi
tersamar kelembaban udara.
Kepergiannya meninggalkan
helai-helai kesejukan
yang akan selalu dinantikan setiap waktu.
Rumput menggigil melalui malam,
melantunkan nyanyian kerinduan menunggu pagi
— masa dimana Embun, kekasihnya
datang, bertaut, dan bercumbu di saat fajar hingga pagi.
Untuk itulah Rumput bertahan hidup,
bahagia,
bernapas,
dan menjadi berarti.
((by monita gunawan))
namun biasnya tersamar di pendar miliar cahaya Matahari.
Kodratnya adalah keterikatan dengan alam
yang telah menggariskannya
dapat bertemu Rumput, kekasihnya
hanya saat fajar terbangun.
Namun saat itulah ia hidup,
bahagia, bernapas, dan menjadi berarti.
Kilau, bias, dan cemerlangnya
menghiasi Semesta.
Walau hanya sejenak, meski kemudian terlupa,
ia akan tetap ada.
Senantiasa hadir di geliat jingga langit pagi
untuk menerima hadiah pelukan sang Rumput.
Rumput menangis pada saat Embun menguap menghilang,
namun basahnya abadi
tersamar kelembaban udara.
Kepergiannya meninggalkan
helai-helai kesejukan
yang akan selalu dinantikan setiap waktu.
Rumput menggigil melalui malam,
melantunkan nyanyian kerinduan menunggu pagi
— masa dimana Embun, kekasihnya
datang, bertaut, dan bercumbu di saat fajar hingga pagi.
Untuk itulah Rumput bertahan hidup,
bahagia,
bernapas,
dan menjadi berarti.
((by monita gunawan))
Maav Lagi Menstruasi alias Malas+Frustasi (haha ikut2 pake istilahna mister gaphe -pinjem ya phe'-) jadinya lagi males buat postingan sendiri(postingan diatas nemu di folder-suka-). huohuohuo ^^a
13 komentar:
Sadar ga sadar percakapan semesta alam diatas jg terjadi pada manusia lho hehe
Bagus banget. Dialognya romantis loh :)
#eaaaaaa , cicikiw..
dah lama tak kesini.. how are u sist?? ^^
kirain asli buatan sendiri. ampir aja mau ngasih pujiaaan. hahaha
embun penuh dengan kesejukan, saya dah sembuh dari menstruasi...hehe ^^
kasian banget ya embun, tapi namanya abadi di hati rumput #cielah emang rumput ada hatinya ya :P
ehm percakapane seperti percakapan manusia... :)
ada aja istilahnya
pake menstruasi segala :D
Adakaliyah taman hati?? hehe
Oh yah mohon maaf lahir batin yah B)
ah.. unyuuuuu. hehe
oiya.. minal aidzin walfaidzin ya. mohon maaf lahir batin :D
Selamat hari Lebaran, dan liburan :)
Mohon maaf lahir-bathin ya :)
Ahh...
met idul fitri juga kakaak!
:)
mohon maaf lhr batin yaa....
TH ditunggu..
hehehe
mohon maaf lahir dan batin, maaf yah kalau ga posting kisah cintaku dulu he he
Posting Komentar