Overdosis Perfeksionis

on Minggu, Agustus 12, 2012


Kekuatan sebuah rasa adalah menghasilkan banyak cerita. Menceritakan apa yang kita rasakan merupakan salah satu cara ‘mentransferkan’ kegundahan hati. Ya, karena hati tak bisa bicara dan tentu saja alat pendengaran kita tak mampu menangkap suara-suara hati. Maka dari itu berceritalah! :)

Ngomong-ngomong soal overdosis perfeksionis nih, sejujurnya saya sedikit ‘mencuri’ istilah dari salah satu penulis kesayangannya saya – dewi lestari, yang akrab di sapa DEE – di buku Filosofi KOpinya ia menuliskan dua buah kata –overdosis romantis, red –. Dari dua buah kata yang diutarakan oleh dee dan juga dari judul postingan ini, saya yakin teman-teman blogger bisa menebak apa yang ingin saya ceritakan. Hehe :)
overdosis perfeksionis???
Nah, menurut bahasa overdosis itu berarti kelebihan dosis dan masih menurut bahasa perfeksionis itu berarti sifat yang selalu menuntut kesempurnaan. Jika artinya digabungkan menjadi sifat berlebihan yang selalu menuntut kesempurnaan. Haha #sotoy# wadevah, kalian coba artiin sendiri saja menurut ‘piling’ masing-masing.
Saya sedikit tertarik untuk membahas sebuah kata sempurna. Menjadi sempurna bukan sebuah kesalahan, kan? Seingat saya, menjadi sempurna malahan sebuah anjuran(setidaknya dalam islam seperti itu, pembuktiannya baik dalam bentuk ibadah, dll). Walau sejatinya manusia tak akan mampu menjadi seorang yang sempurna, setidaknya mendekati kesempurnaan.
Lalu bagaimana dengan seorang Perfeksionis?
Perfeksionis adalah sebuah penyakit yang nyaris dapat mematikan. Tak Percaya? Menurut sejarah, seorang perfeksionis memiliki cara ‘tersendiri’ untuk mencapai kesempurnaan. Cara tersendiri yang terkadang unik, saking uniknya mampu mengikis rasa kemanusiaan(Nampak tak punya hati nurani). Setidaknya saya tidak sedang mengada-ada, karena dalam sejarah hidup saya, sudah pernah ada beberapa perfeksionis yang tentunya ‘overdosis’ yang mewarnai hari-hari saya. #eaaaaa
Awal perfeksionis berakhir dengan egois
Miris sekali hati ini ketika menerima kenyataan seorang sahabat sendiri adalah seorang overdosis perfeksionis. Yang bikin miris adalah status ‘sahabat’ kita jadi ngegantung. Jadinya untuk kondisi-kondisi tertentu, kita sama sekali bukan seperti seorang sahabat. Saya yang menjunjung tinggi nilai persahabatan merasa di khianati dengan ‘penyakit’ overdosis perfeksionisnya itu. #tsaaahhh
Pada suatu hari, saya berniat serius ingin memperbaiki nilai ujian TOEFL yang merupakan salah satu syarat untuk pendaftaran ujian meja. Dengan hati riang gembira, saya pun mendatangi rumah si sahabat dengan harapan dapat meminjam buku TOEFL secara cuma-cuma, karena saya tau pasti dia memiliki buku TOEFL yang pastinya bisa dipinjam sampai batas waktu yang tidak ditentukan(namanya juga sahabat, ahaha) selain itu, saya juga tau pasti dia telah lulus ujian TOEFL. So, there are no reasons not to lend me her book! Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, dia dengan ‘tampang tak berdosa’ menolak untuk meminjamkan bukunya, dengan alasan ingin mempelajarinya juga guna persiapan pendaftaran S2 nanti, padahal pendaftaran S2 masih beberapa bulan kemudian. #sigh# Si sahabat sangat ingin dirinya mencapai kesempurnaan (dalam hal ini nilai yang memuaskan),

Realistis itu penting, namun perasaan jangan di kesampingkan.

Merasa tidak aman dan nyaman, itulah yang saya rasakan ketika berada di dekat orang-orang yang menderita penyakit OP. Seperti ada sebuah ketidakrelaan yang teramat dalam ketika saya ingin berbagi cerita pada para penderita OP ini.  Lalu saya memilih untuk menjauhi mereka, namun tetap menjalin silaturahmi. #loh? =_=a

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Apakah ada gejala anda POP(Penderita Overdosis Perfeksionis)? Selamat berpuasa ^,^