bismillah,
met hari jumat epribadih,
saya mencintai sastra,
karena saya memang harus cinta,
saya mencintai karya-karya sastra dan,
mencintai mereka yang mencintai sastra...
sastra memang indah, ia mudah untuk dicintai
“Pada saat aku merenungkan masa yang singkat dari hidupku, yang ditelan oleh gelembung besar keabadian; maka ruang sempit yang aku isi, atau apapun yang kusaksikan, nyaris tenggelam dalam ketidakberhinggaan ruang tanpa batas yang sama sekali tidak kukenal, dan yang sama sekali tidak mengenaliku juga. Aku takut dan bertanya-tanya melihatku sendirian disini. Ternyata jauh lebih mengerikan dan mengherankan melihatku disini ketimbang melihatku disana (dalam Keabadian). Tidak ada alasan sama sekali mengapa aku harus berada disini dan bukan disana.” (Pascal—Pengalaman Dasein)
Manusia dikutuk untuk menjadi bebas (condemned to freedom), begitu Jean Paul Sartre mengungkapkan kegetiran hidup dalam diktum filsafat eksistensialismenya. Manusia yang pada satu sisi senantiasa dihadapkan pada pelbagai kemungkinan untuk berkata imposible is nothing, di sisi lain memiliki kebebasan untuk memilih satu opsi kemungkinan dan bertindak. Dengan nalar, naluri, dan norma; manusia boleh memilih untuk berkelahi (fight) atau justru lari (flight) dari bahaya. Kebebasan disini, secara radikal dapat dimaknai juga sebagai ketidakterikatan atas apapun jua, alias usaha yang (mungkin) purna untuk menanggalkan eka dan aneka ketertarikan, pun ketergantungan pada dunia seisinya. Sehingga, ia yang berhasrat untuk bebas seutuhnya, akan sekedar mengarahkan keteracuhan konsentrasi pada perkara yang benar-benar diperlukan bagi penghidupannya (omne ens bonum : apa yang ada, sejauh ada, baik adanya -- Aquinas). Hanya mengejar apa yang musti dikejar, karena insting dan kompromi akal amat determinan sifatnya dalam ruang kesadaran.
Perwara tulisan di atas, bahwa we are condemned to freedom, penulis sematkan sebagai simpul awal alur diskusi perihal sakit “terasing” atas eksistensi dari masing-masing wadah dan jiwa, tiap nalar, naluri, serta nurani pada diri penulis juga pembaca dalam takdirnya sebagai manusia. Kemudian, dengan potongan prosa Pascal pada perwara tulisan, kiranya kesepahaman bahwa yang penulis dan pembaca diskusikan saat ini ialah lokus aliran filsafat eksistensialisme yang berbicara mengenai ragam berfikir dari suatu kajian filsafati, perihal hakekat keberadaan manusia, bukannya eksistensialisme aras seni ala pemberontakan van Gogh, Picasso, atau Cesanne. Guna mempermudah pembacaan, penulis menampilkan dua contoh fiktif, yang semoga mengantarkan benak pada rantai “Ada”, “Tiada”, dan “Menjadi” yang terkadang prosesual sifatnya, namun acapkali juga dipahami sebagai elan yang berjalan terpisah.
Contoh pertama diperankan oleh sang pangeran kegelapan dari Hoghwarts yang juga kompatriot sekaligus kompetitor Harry Potter, yakni Tom Mavoldo Riddle alias Lord Voldemort. Dalam cerita, manusia berparas tirus laiknya ular ini lebih familiar dipanggil dengan nama ganti “You Know Who”. Terjemah literer Indonesianya adalah “Kau Tahu Siapa” dengan tanda seru (!) dan bukanya tanda tanya (?). Alasan yang dipaparkan secara eksplisit oleh J.K. Rowling (penulis novel Harry Potter) ialah bahwa menyebut Voldemort dengan nama aslinya adalah terlarang, karena mengundang celaka. Orang akan begidik mendengar namanya disebut oleh karena tak terhitungnya rekor kejahatan sihir yang ia telah torehkan, sehingga gelar lain pimpinan penyihir jahat ini bertambah dengan “ia yang namanya tak boleh disebut”. Konon, Lord Voldemort akan mendatangi manusia yang berani menyebut langsung namanya (njangkar : Jawa), alias tidak sopan; untuk kemudian ia bunuh via mantra “avada kadavra”, atau disiksa dulu dengan mantra crutiatus.
Amsal fiktif kedua adalah sosok manusia yang dianggap Ada-nya berbanding sejajar dengan Tiada-nya (wujuduhu ka’adamihi); dalam arti kehadiran (presence) dan ketidakhadirannya (absence) bernilai sama di mata dunia. Misalnya tokoh Smeagol dalam trilogi Lord of The Rings, makhluk bangsa Gollum yang pada awalnya sekedar figuran dari plot. Dengan kontur wajah, jenis suara, dan bentuk tubuh yang (menurut dunia) mengerikan juga menjijikkan, fungsi Smeagol ibarat catatan kaki dalam memberi keterangan penjelas pada variabel karangan, jadi boleh tidak diperhatikan - cum - tidak wajib diperhatikan.
Inferensi dari contoh khayali pertama adalah sosok manusia yang senantiasa dianggap “Ada”, dan “Hadir” dimana-mana dan kapan saja (omnipresent). Meskipun semua faham dan mengerti bahwa setiap wadag terikat ruang dan waktu, namun secara fantastis, Rowling menggambarkan bagaimana akutnya persepsi warga sihir dalam karya kesusasteraannya. Pada dimensi waktu, Lord Voldemort diasumsikan sanggup meruang dalam jaman (sinkronik; syn: bersama, chronos: waktu) sekaligus berpijak melaluinya (diakronik; dia: melewati, chronos: waktu).
Dalam dunia nyata, kita mengalami bagaimana rasa kehilangan atas kematian Putri Diana begitu kolektif, seakan mantan istri Charles yang dari Wales itu tak lain tetangga sedusun kita di bumi Indonesia. Andil media dengan hegemoni wacana yang sifatnya massal, terbukti sanggup mendesain kesadaran sebagian besar umat manusia menjadi duka yang mendunia. Dari sini, eksistensi Voldemort juga Diana ada dan hadir dalam daftar kesadaran masing-masing masyarakat pendukungnya, baik yang fiktif (yakni masyarakat sihir untuk Voldemort) dan yang non-fiktif (untuk Lady Diana).
Sementara untuk misal kedua, kita disuguhi sebentuk ironi kehidupan; mengenai pengakuan yang minimalis dari dunia atas keberadaan, kehadiran, dan kenyataan yang meskipun manifest “Ada”-nya, namun belum layak dianggap “Ada”. pengakuan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang variatif bentuk dan sifatnya. Walaupun Smeagol, tokoh yang pada ujung cerita (ternyata) nyaris merebut “cincin” dari Frodo Baggins ini sangat menonjol dalam hal ke-tidakwajar-annya (freak); dimana saat ia berjalan dan bergerak, terkadang menyerupai merayapnya binatang melata, terkadang juga bak makhluk dari ordo primata (monyet). Tetapi, karena logika yang terpakai di dunia Lord of The Ring adalah jahat (komplotan Saruman) dan baik hati (Gandalf cs), maka Smeagol yang berkepribadian ganda itu terpasung di tengahnya, dan alasan inilah yang (menurut penulis) membuatnya tersisih. Untuk dunia nyata, kita kerapkali menemui tragedi seperti ini. Dalam kelas kuliah, yang “Ada” adalah Dosen, si pintar di bangku depan, mahasiswa vokal, trouble maker yang kalo tidak clometan ya tidur, serta anak manusia yang senyumnya masyaAllah menawan di pojokan belakang. Sedangkan para pendiam, dengan tampang pas-pasan, IQ menengah, dompet juga pas-pasan; hanya berperan sebagai bingkai dari lukisan utama. Sama seperti Smeagol, takdir serba pas-pasan tersebut menempatkannya menjadi semacam footnote dari alinea-alinea inti perkuliahan. Kehadiran maupun ketidakhadiran penghuni kelas menengah ini sama saja, karena tidak memberi pengaruh pada corak dan arahnya perkuliahan.
Pada titik inilah penyakit krisis eksistensi mulai menggejala. Ibarat ungkapan kefakiran mendekatkan orang pada kekafiran, maka Ada-nya Aku yang telah di-Tiada-kan, Menjadi-kan Aku mengalami krisis eksistensi. Dalam arti, si muka pas-pasan yang pendiam, IP-nya standar, tidak kaya, dan tidak pernah punya masalah dengan dosen – perdata maupun pidana, bukan aktivis HMJ, Senat, BEM dll; karena jengkal ke-Diri-annya telah dinegasikan oleh lingkungan hidupnya, maka suatu saat ia akan menjumpai virus yang lebih parah daripada flu babi, bernama krisis eksistensi. Namun, paparan panjang penulis ini tidak lantas berlaku mutlak. Maksudnya, bukan tidak mungkin bagi seseorang yang berada di puncak (kejayaan, kekayaan, kepopuleran, kegantengan, kepandaian, kecantikan, kekuasaan, etc), untuk tidak mengalami krisis eksistensi.
Adapun, efek dari krisis diri ini beragam variannya, sebagaimana petikan lagu berikut:
“Somebody else, round every one else. You’re watching you back, like you can’t relax. You’re trying to be cool, you look like a fool to me…… I see the way you’re acting like you’re somebody else gets me frustrated… Honesty and promise me. I’m never gonna find you fake it…. Dressed up like you’re something else. Where you are and where it’s at you see. You’re making me. Laugh out when you strike your pose. Take off all your preppy clothes. You know, you’re not fooling anyone. When you’ve become” (Avril-Complicated).
Jadi, apakah Anda tengah berperilaku laiknya somebody else, misalnya berpenampilan emmo supaya bisa nampak gothik bak Evanescence? Kacamata fake ala Pasha Ungu, and another bullshit? Ruang kontemplasi pada benak pembacalah yang berhak menghakimi.